warung
sebuah tempat yang menjadi tujuan
masarakat Banjar hulu di pagi hari setelah selesai melaksanakan Shalat Subuh,
sebuah tempat bercengkrama suatu comunal
untuk membicarakan hal-hal yang berisi dan tidak terlalu pribadi bahkan sekedar
hanya untuk mengeluarkan lelucon seperti mahalabio atau bacucupatian. Sajian
nasi kuning, lontong, sampai wadai guguduh dan untuk ada di warung sabagai
teman melakukan interaksi dengan pengunjung lainnya.
Warung
dalam bahasa Banjar yang berarti tempat dimana orang bisa mem
beli makanan atau minum. Warung yang merupakan tempat dimana seseorang dapat melakukan interaksi secara langsung tentang beberapa aspek sosial masyarakat. Warung yang buka dari subuh sampai siang yang menjual makanan dan minuman khas daerah Banjar Hulu ini seakan menjadi sebuah terminal persinggahan masyarakat di pahuluan sebelum menuju tempat bekerja umumnya bekerja sebagai petani atau berkebun. Ada sebuah jarak waktu dari selesai shalat subuh smpai sekitar jam 8 pagi yang orang pahuluan menyebutnya dengan baisukan ini dimanfaatkan oleh masyarakat di pahuluan untuk bacungkung di warung tersebut baik untuk sarapan maupun hanya sekadar makan kue-kue tradisional ditemani teh hangat ataupun secangkir kopi. Sambil menikmati sajian makanan inilah biasa terjadi percakapan langsung yang secara spontan terjadi baik untuk membicarakan hal yang bersifat lelucon ( mangabuau / mahalabio )yang bahkan biasanya menjadi pembicaraan yang kacau karena di satu sisi berbicara, di sisi lain berbicara dengan topik pembicaraan yang berbeda hal itu biasanya disebut dengan barucau.
beli makanan atau minum. Warung yang merupakan tempat dimana seseorang dapat melakukan interaksi secara langsung tentang beberapa aspek sosial masyarakat. Warung yang buka dari subuh sampai siang yang menjual makanan dan minuman khas daerah Banjar Hulu ini seakan menjadi sebuah terminal persinggahan masyarakat di pahuluan sebelum menuju tempat bekerja umumnya bekerja sebagai petani atau berkebun. Ada sebuah jarak waktu dari selesai shalat subuh smpai sekitar jam 8 pagi yang orang pahuluan menyebutnya dengan baisukan ini dimanfaatkan oleh masyarakat di pahuluan untuk bacungkung di warung tersebut baik untuk sarapan maupun hanya sekadar makan kue-kue tradisional ditemani teh hangat ataupun secangkir kopi. Sambil menikmati sajian makanan inilah biasa terjadi percakapan langsung yang secara spontan terjadi baik untuk membicarakan hal yang bersifat lelucon ( mangabuau / mahalabio )yang bahkan biasanya menjadi pembicaraan yang kacau karena di satu sisi berbicara, di sisi lain berbicara dengan topik pembicaraan yang berbeda hal itu biasanya disebut dengan barucau.
Dalam
konteks ini warung seakan menjadi pusat informasi tentang pemberitaan apa yang
sedang terjadi dilingkungan masayarakat tersebut ataupun pemberitaan lainnya
bagi masyarakat yg datang dan duduk baungut
di warung sambil menikmati sajian dari Acil
warung. Namun banyak juga yang pada mulanya pandiran
diwarung menjadi pembicaraan serius yang akhirnya dibawa kerumah untuk
berbicara lebih detail dan lebih mendalam dalam penyampaiannya hal ini biasanya
disebut dengan istilah banahap pandir. Bila
sudah banahap pandir maka pembicaraan pun sudah tak menjadi
konsumsi publik lagi atau boleh dibilang sudah bersifat rahasia karena
pebicaraan sudah tidak menjadi pebicaraan dengan interaksi berantai namun sudah
lebih kepada pembicaraan face to face
dan sudah berubah menjadi hal yang begitu rahasia biasanya bisa juga membahas
masalah turunan juriat (bacu’ur),
atau bisa juga menuntut ilmu yang mengarah pada ilmu agama ataupun ilmu lainnya
biasanya di sebut dengan mangaji baduduk.
Kedua hal tersebut sudah bukan
pembicaraan di warung lagi yang hanya mangabuau.
Semua
itu terjadi berlangsung lama entah dari mana asal mula budaya bapapandiran diwarung ini, biasanya di
lakukan oleh masyarakat di hulu sungai. yang
jelas sebagian besar masyarakat Pahuluan
sangat jarang memasak di pagi hari dan lebih memilih untuk sarapan di warung
karena ada bumbu penikmat yang tidak akan didapatkan dirumah yaitu bapapandiran diwarung. Budaya ini seakan
turun temurun dan menjadi sebuah kejadian sosial yang kemungkinan besar hanya
terjadi di masyarakat yang ada di Hulu
sungai. Nikmatnya nasi kuning atau lontong dan wadai-wadai khas seakan
kurang jika si pengunjung warung tak mempunyai teman bicara diwarung tersebut.
Sebuah
kebiasaan akhirnya menjadi budaya di suatu komunitas masyarakat yang memang
pasti memiliki nilai positif dan negatifnya, namun dibalik itu selalu ada hal
kebaikan didalamnya, Rakatnya
masayarakat di pahuluan bisa di
mungkinkan karena adanya silaturahmi secara tak sengaja di sebuah fasilitas
yang bernama warung. Budaya bapapandiran
diwarung sebuah budaya masyarakat makan minum sambil bapapandiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar