Jumat, 07 Maret 2014

BAPAPANDIRAN DI WARUNG

warung sebuah tempat  yang menjadi tujuan masarakat Banjar hulu di pagi hari setelah selesai melaksanakan Shalat Subuh, sebuah tempat bercengkrama  suatu comunal untuk membicarakan hal-hal yang berisi dan tidak terlalu pribadi bahkan sekedar hanya untuk mengeluarkan lelucon seperti mahalabio atau bacucupatian. Sajian nasi kuning, lontong, sampai wadai guguduh dan untuk ada di warung sabagai teman melakukan interaksi dengan pengunjung lainnya.
Warung dalam bahasa Banjar yang berarti tempat dimana orang bisa mem
beli makanan atau minum. Warung yang merupakan tempat dimana seseorang dapat melakukan  interaksi secara langsung tentang beberapa aspek sosial masyarakat. Warung  yang buka dari subuh sampai siang yang menjual makanan dan minuman khas daerah Banjar Hulu ini seakan menjadi sebuah terminal persinggahan masyarakat di pahuluan sebelum menuju tempat bekerja umumnya bekerja sebagai petani atau berkebun. Ada sebuah jarak waktu dari selesai shalat subuh smpai sekitar jam 8 pagi yang orang pahuluan menyebutnya dengan baisukan ini dimanfaatkan oleh masyarakat di pahuluan untuk bacungkung di warung tersebut baik untuk sarapan maupun hanya sekadar makan kue-kue tradisional ditemani teh hangat ataupun secangkir kopi. Sambil menikmati sajian makanan inilah biasa terjadi percakapan langsung yang secara spontan terjadi baik untuk membicarakan hal yang bersifat lelucon ( mangabuau / mahalabio )yang bahkan biasanya menjadi pembicaraan yang kacau karena di satu sisi berbicara, di sisi lain berbicara dengan topik pembicaraan yang berbeda hal itu biasanya disebut dengan barucau.
Dalam konteks ini warung seakan menjadi pusat informasi tentang pemberitaan apa yang sedang terjadi dilingkungan masayarakat tersebut ataupun pemberitaan lainnya bagi masyarakat yg datang dan duduk baungut di warung sambil menikmati sajian dari Acil warung. Namun banyak juga yang pada mulanya pandiran diwarung menjadi pembicaraan serius yang akhirnya dibawa kerumah untuk berbicara lebih detail dan lebih mendalam dalam penyampaiannya hal ini biasanya disebut dengan istilah banahap pandir. Bila sudah banahap pandir  maka pembicaraan pun sudah tak menjadi konsumsi publik lagi atau boleh dibilang sudah bersifat rahasia karena pebicaraan sudah tidak menjadi pebicaraan dengan interaksi berantai namun sudah lebih kepada pembicaraan face to face dan sudah berubah menjadi hal yang begitu rahasia biasanya bisa juga membahas masalah turunan juriat (bacu’ur), atau bisa juga menuntut ilmu yang mengarah pada ilmu agama ataupun ilmu lainnya biasanya di sebut dengan mangaji baduduk.  Kedua hal tersebut sudah bukan pembicaraan di warung lagi yang hanya mangabuau.

Semua itu terjadi berlangsung lama entah dari mana asal mula budaya bapapandiran diwarung ini, biasanya di lakukan oleh masyarakat di hulu sungai. yang jelas sebagian besar masyarakat Pahuluan sangat jarang memasak di pagi hari dan lebih memilih untuk sarapan di warung karena ada bumbu penikmat yang tidak akan didapatkan dirumah yaitu bapapandiran diwarung. Budaya ini seakan turun temurun dan menjadi sebuah kejadian sosial yang kemungkinan besar hanya terjadi di masyarakat yang ada di Hulu sungai. Nikmatnya nasi kuning atau lontong dan wadai-wadai khas seakan kurang jika si pengunjung warung tak mempunyai teman bicara diwarung tersebut.
Sebuah kebiasaan akhirnya menjadi budaya di suatu komunitas masyarakat yang memang pasti memiliki nilai positif dan negatifnya, namun dibalik itu selalu ada hal kebaikan didalamnya, Rakatnya masayarakat di pahuluan bisa di mungkinkan karena adanya silaturahmi secara tak sengaja di sebuah fasilitas yang bernama warung. Budaya bapapandiran diwarung sebuah budaya masyarakat makan minum sambil bapapandiran.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar